Kemerataan ekonomi dan politik
Oleh: Rangga Primadasa
“Demokrasi Politik itu, yang berarti kesamaan hak di lapangan politik, akan tetap satu demokrasi borjuis, manakala tidak dilengkapkan dengan kesamarataan dilapangan ekonomi pula.”—Ir. Soekarno, dibawah bendera revolusi 1, hal 585)
Adalah wajar pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada kaum proletar negeri ini. Ini semua demi perataan ekonomi. Adalah wajar pula Pemerintah menyalurkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk keberlangsungan pendidikan semua kelas sosial. Adalah Wajar Pemerintah melaksanakan program PNPM Mandiri untuk membantu masyarakat sesuai dengan kebutuhan yang paling mendesak. Semuanya adalah wajar demi satu cita-cita yang agung ”Kemerataan ekonomi”
Dan kini adalah sesuatu yang wajar lagi jika banyak masyarakat yang skeptis dengan kemajuan kemerataan ekonomi ini. Skeptis adalah awal dari kemajuan. Untuk merekonstruksi sesutau yang sudah mapan perlu dihujamkan sikap skeptis pada setiap manusia.
Sudahlah cukup aku melihat di televisi yang aku sebut sebagai kapitalisasi kaum proletar. Bedah rumah—memanfaatkan kemiskinan orang lain untuk meraih untung sebanyak-banyaknya. Sudahlah aku cukup melihat orang-orang di ujung jalan harus digusur lantas disediakan tempat yang lebih baik namun dengan harus membayar. Mana mungkin bisa membayar. Inilah yang aku sebut, sekali lagi, kapitalisasi kaum proletar. Apakah ini simbol keberhasilan pemerataan ekonomi.
Sudahlah aku lihat kaum politikus menyuarakan pemberantasan kemiskinan. Sebenarnya itu hanya omong kosong. Itu hanya proyek menggelembungkan dana pribadi. Sudahlah aku lihat betapa sekretariat partai politik dibangun semegah-megahnya. Dibangun dengan menyuarakan kemelaratan rakyat. Sungguh picik dia punya hati. Inikah yang disebut dengan kemerataan ekonomi.
Masa jabatan akan berakhir. Politik pencitraan digendangkan. Menarik simpati dengan mengurangi sedikit saja kaum proletar punya penderitaan adalah cara jitu setiap incumbent.
Kemerataan ekonomi haruslah dipahami sebagai keharusan bagi semua yang ada di eksekutuf, legislatif, dan yudikatif. Dan kita punya kesadaran haruslah diasah dengan melihat kebawah. Jangan hanya melihat dunia dari pinggir jalan. Tapi masuklah ke kampung-kampung. Dan disanalah kau akan lihat kemelaratan yang sesunguhnya. Orang-orang yang kau beri BLT itu tetap seperti dulu. Relakah kau amggota dewan yang terhormat mendapat gaji tiga juta saja sebulan. Berat sungguh berat karena adalah wajar untuk menjadi anggota dewan yang terhormat kita memakai modal yang besar sehingga kita haruslah mendapatkan keuntungan yang besar pula sebagai anggota dewan yang terhormat. Jadi anggota dewan yang terhormat adalah kaum borjuis semuanya. Jika bukan borjuis tidak mungkin bisa menjadi anggota dewan yang terhormat. Jikalau mungkin sedikit sekali jumlahnya. Bagaimana mungkin kemerataan ekonomi terbangun jika anggota dewan yang terhormat adalah kaum borjuis semuanya.
Eksekutif adalah kaum borjuis—itu wajar karena untuk menjadi calon saja harus melewati sekumpulan borjuis tengik di sebuah partai politik pemegang suara di dewan. Jadi lengkaplah sudah perselingkuhan borjuis-borjuis di eksekutif dan legislatif. Dan yudikatif, siapakah yang mengangkat kalau bukan legislatif. Akhirnya lengkaplah sudah kita punya pemerintahan borjuis. Eksekutif—legislatif—yudikatif. Semuanya borjuis. Adakah kita punya kemerataan ekonomi dan kita punya kemerataan politik?
Dan pertanyaannya lagi adalah: adakah penerima BLT bisa menjadi eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Tidak mungkin? Apalagi yudikatif yang haruslah orang yang benar-benar kapabel yang harus mengisinya. Orang-orang kapabel adalah orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman tentunya.
Haruslah sistem kita punya politik dirubah agar legislatif bukanlah tempat mencari uang. Tetapi tempat pengabdian sebagai warga negara yang punya mimpi atas memerataan ekonomi dan kemerataan politik. Haruslah kita sadari menjadi dewan yang terhormat bukan untuk membuat peraturan yang memudahkan kita punya urusan pribadi. Haruslah dewan yang terhormat adalah representasi borjuis dan proletar. Intelek dan non—intelek. Haruslah eksekutif tidak dipaksakan diisi oleh borjuis. Oleh orang berpaham simbol borjuis—ijazah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar